Minggu, 13 November 2016

Mengungkap Kebohongan Publik Menteri Ketenagakerjaan Terkait PP 78/205 tentang Pengupahan

Oleh : Said Iqbal

 
Melalui media massa, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri sering menyampaikan bahwa PP 78/2015 tentang Pengupahan memberikan kepastian dan menguntungkan buruh. Pernyataan ini bertolak belakang dengan kenyataan, dimana semenjak terbitnya Peraturan Pemerintah, buruh justru dirugikan.

Saya mencatat, setidaknya ada tiga kebohongan publik yang dilakukan Menaker. Pertama, pemerintah mengatakan bahwa PP 78/2015 berorientasi terhadap hidup layak. Faktanya, PP 78/2015 justru menghapus instrumen kebutuhan hidup layak yang sudah diterapkan sejak tahun 1982. Kedua, pemerintah mengatakan bahwa PP 78/2015 memberikan kepastian terhadap kenaikan upah. Faktanya, pasca diterbitkannya PP 78/2015 kenaikan upah justru menjadi lebih rendah. Dan yang ketiga, pemerintah mengatakan bahwa serikat buruh masih memiliki hak untuk berunding tentang kenaikan upah minimum. Faktanya, dengan terbitnya PP 78/2015, hak itu sudahdipreteli.

Alih-alih menguntungkan, PP 78/2015 tentang Pengupahan justru merugikan kaum buruh.

Kerugian Secara Konstitusi

Dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 disebutkan, tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selanjutnya, dalam Pasal 28D ayat (2) disebutkan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Diperkuat dalam Pasal 88 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang menegaskan, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, upah minimum diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Dengan demikian, berdasarkan regulasi yang ada, instrumen kehidupan yang layak adalah Kebutuhan Hidup Layak (KHL), bukan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana yang dimaksud dalam PP No. 78 Tahun 2015.

Sementara itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 89 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003, upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. Dengan adanya formula kenaikan upah minimum sebesar inflansi dan pertumbuhan ekonomi, itu artinya kenaikan upah minimum tidak lagi ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. Jelas, PP No. 78 Tahun 2015 melanggar konstitusi.

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa rumusan kenaikan upah minimum tidak flat berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.  Tetapi berdasarkan survey biaya hidup dipasar yang di kenal dengan istilah Kebutuhan Hidup Layak ( KHL) yang sudah diberlakukan dari tahun 1982,  (dulu bernama kebutuhan fisik minimum), dimana komponen KHL saat ini berjumlah 60 item. Inilah yang disurvei oleh dewan pengupahan Kabupaten/kota yang anggotanya berasal dari serikat pekerja, asosiasi pengusaha dan unsur pemerintah.

Selanjutnya, hasil survey nilai KHL ini yang dijadikan bahan diskusi dan dialog dewan pengupahan daerah, untuk kemudian menetapkan upah minimum seberapa persen dari KHL. Bisa saja nilai upah minimum sama dengan 100% KHL atau bisa juga 95% KHL, atau 120% KHL, tergantung hasil rapat di Dewan Pengupahan tersebut.

Hasil negoisasi ini kemudian menajdi rekomendasi penetapan nilai upah minimum untuk diserahkan ke bupati, walikota yang kemudian merekomendasikan nilai upah ini ke gubernur. Dan gubernurlah yang menetapkan niliai upah minimum. Tetapi dengan adanya PP 78/2015, mekanisme penetapan upah minimum yang sudah berlaku sejak tahun 1982 itu menjadi tidak lagi bermakna.

Kerugian Secara Nominal

Pemerintah mengatakan, PP No. 78 Tahun 2015 memberikan kepastian. Pertanyaan kita, yang dibutuhkan kepastian atau kesejahteraan? Tentu saja, kita menginginkan kedua-duanya. Tetapi PP No. 78 Tahun 2015 justru semakin menjauhkan buruh dari kesejahteraan. PP No. 78 Tahun 2015 hanya untuk memastikan upah tetap murah.

Selama ini, di seluruh Indonesia sudah ada kenaikan upah minimumnya berdasarkan survei KHL oleh Dewan Pengupahan. Itu artinya, tanpa PP No.78 Tahun 2015 pun upah minimum sudah pasti naik. Ironisnya, kenaikan upah minimum sebelum ada PP No.78/2015 justru lebih baik/lebih tinggi kenaikan upah minimumnya dibandingkan dengan menggunakan rumus formula baru di PP No.78/2015.

Dengan kata lain Menaker telah berbohong yang menyatakan bahwa formula kenaikan upah minimum baru di PP No.78/2015 akan memberikan kenaikan yang lebih baik. Untuk menyebut satu contoh, Kota Bekasi. Prosentase kenaikan upah minimum di Kota Bekasi pada tahun 2013 adalah 47,7%; tahun 2014 sebesar 16,3%; dan tahun 2015 sebesar 22,2%. Dengan menggunakan formula baru di PP No.78/2015 kenaikannya menjadi lebih kecil, hanya 11,5%. Ini jelas merugikan buruh.

Di beberapa daerah seperti Bengkulu, Maluku, Papua Barat, dan Kalimantan Tengah,  memang diuntungkan dengan ada PP No.78/2015 karena kenaikan upahnya relatif menjadi lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Tetapi ingat, daerah-daerah itu bukanlah daerah industri. Buruh yang bekerja di daerah tersebut jumlahnya hanya 10% dari total buruh secara keseluruhan. Tetapi untuk kota-kota industry, justru diturunkan.

Kesimpulan, PP 78/2015 merugikan mayoritas buruh (90%) yang berada di kota padat industri, ini yang ditolak Serikat Pekerja. Memang benar ada 10% buruh di kota non padat industri diuntungkan dengan PP No.78/2015. Tetapi tidak adil jika untuk melindungi yang 10%, tetapi yang 90% justru dirugikan.

Hal lain, daerah-daerah seperti Sidoarjo, Surabaya, Pasuran, Gresik, Tangerang, dan Cilegon, akibat PP 78/2015 rekomendasi upah minimum dari Bupati/Walikota justru diturunkan. Di Surabaya, misalnya, Walikota sudah merekomendasi upah minimum sebesar 3,2 juta. Tetapi diturunkan menjadi 3 juta-an.

Sekali lagi, buruh dirugikan!

Kerugian atas Hilangnya Hak Berunding dan Hak Berserikat

Perlu diketahui, keterlibatan serikat pekerja dalam menentukan kenaikan upah merupakan sesuatu yang sangat prinsip. Di seluruh dunia, kenaikan upah selalu melibatkan serikat pekerja, sesuai dengan Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berunding.

Tetapi, dengan menetapkan formula kenaikan upah sebatas inflansi   pertumbuhan ekonomi, maka pemerintahan Jokowi - JK telah merampas hak serikat. Padahal Pasal 89 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 mengamanatkan, upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.

Dengan adanya formula kenaikan upah minimum sebesar inflansi dan pertumbuhan ekonomi, itu artinya; “Kenaikan upah minimum tidak lagi ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota”

Bagaimana mungkin Peraturan Pemerintah bisa menabrak Undang-undang? Tidak berlebihan jika kemudian kita menyebut, ini adalah rezim upah murah yang terburuk, sejak zaman Soeharto.

Akibat PP 78/2015. peran serikat Pekerja di dewan pengupahan jadi hilang dalam menetapkan nilai upah minimum  karena nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi sudah ditentutakan tiap tahun oleh pemerinyah pusat. Akibatnya, peran serikat pekerja, dewan pengupahan dan KHL sudah  tidak dibutuhkan lagi.

Kenaikan berdasar Formula PP 78, tidak sesuai dengan spirit  melibatkan serikat pekerja, sesuai dengan Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berunding, termasuk peran Serikat Pekerja yang diakui mewakili buruh untuk berunding dalam penetapan upah minimum. Dengan menetapkan formula kenaikan upah sebatas inflansi   pertumbuhan ekonomi, maka pemerintahan Jokowi - JK telah merampas hak serikat pekerja untuk terlibat dalam menentukan kenaikan upah minimum.

Bahkan, Konvensi ILO No.131 tentang upah minimum mengatur keharusan adanya konsultasi antara Serikat Pekerja dengan organisasi Pengusaha dalam penetapan upah minimum. Tetapi kewajiban untuk melakukan konsultasi itu diabaikan. Saya jadi bertanya-tanya, apakah pemerintahan Jokowi - JK ini anti demokrasi, otoriter, dan cenderung militeristik dengan menghilangkan hak berunding dan berserikat?

Pemerintah mengatakan, serikat pekerja masih memiliki hak untuk berunding di perusahaan guna menentukan struktur dan skala upah. Saya katakan, itu bohong. Faktanya, sedikit sekali perusahaan yang bersedia merundingkan struktur dan skala upah. Lagipula, apa sanksi bagi pengusaha yang tidak bersedia berunding tentang struktur dan skala upah? Tidak ada! Jangankan yang tidak ada sanksinya, yang jelas-jelas ada sanksinya, masih banyak pengusaha yang berani melanggar.  Dari data yang saya miliki, 99,95% pengusaha tidak mempunyai struktur skala upah. Karena, memang, hampir semua perusahaan tidak bersedia membuat struktur skala upah.

"KHL akan naik setiap 5 (lima) tahun sekali," kata pemerintah.  Pertanyaan kita, untuk apa? Ini jelas pembodohan. Apa fungsinya ada KHL jika formula kenaikan upah sudah ditetapkan berdasakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi?

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes