Oleh : Said Iqbal
Melalui
media massa, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri sering menyampaikan bahwa PP
78/2015 tentang Pengupahan memberikan kepastian dan menguntungkan buruh.
Pernyataan ini bertolak belakang dengan kenyataan, dimana semenjak terbitnya
Peraturan Pemerintah, buruh justru dirugikan.
Saya
mencatat, setidaknya ada tiga kebohongan publik yang dilakukan Menaker.
Pertama, pemerintah mengatakan bahwa PP 78/2015 berorientasi terhadap hidup
layak. Faktanya, PP 78/2015 justru menghapus instrumen kebutuhan hidup layak
yang sudah diterapkan sejak tahun 1982. Kedua, pemerintah mengatakan bahwa PP
78/2015 memberikan kepastian terhadap kenaikan upah. Faktanya, pasca
diterbitkannya PP 78/2015 kenaikan upah justru menjadi lebih rendah. Dan yang
ketiga, pemerintah mengatakan bahwa serikat buruh masih memiliki hak untuk
berunding tentang kenaikan upah minimum. Faktanya, dengan terbitnya PP 78/2015,
hak itu sudahdipreteli.
Alih-alih
menguntungkan, PP 78/2015 tentang Pengupahan justru merugikan kaum buruh.
Kerugian
Secara Konstitusi
Dalam
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 disebutkan, tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selanjutnya, dalam Pasal 28D ayat
(2) disebutkan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Diperkuat dalam Pasal 88
ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang menegaskan, setiap pekerja/buruh berhak
memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 89 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, upah minimum diarahkan kepada
pencapaian kebutuhan hidup layak. Dengan demikian, berdasarkan regulasi yang
ada, instrumen kehidupan yang layak adalah Kebutuhan Hidup Layak (KHL), bukan
inflasi dan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana yang dimaksud dalam PP No. 78
Tahun 2015.
Sementara
itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 89 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003, upah
minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan
Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. Dengan adanya formula kenaikan
upah minimum sebesar inflansi dan pertumbuhan ekonomi, itu artinya kenaikan
upah minimum tidak lagi ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan
rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota. Jelas, PP No.
78 Tahun 2015 melanggar konstitusi.
Dari
penjelasan di atas, terlihat bahwa rumusan kenaikan upah minimum tidak flat
berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Tetapi berdasarkan survey biaya hidup dipasar yang di kenal dengan
istilah Kebutuhan Hidup Layak ( KHL) yang sudah diberlakukan dari tahun
1982, (dulu bernama kebutuhan fisik
minimum), dimana komponen KHL saat ini berjumlah 60 item. Inilah yang disurvei
oleh dewan pengupahan Kabupaten/kota yang anggotanya berasal dari serikat
pekerja, asosiasi pengusaha dan unsur pemerintah.
Selanjutnya,
hasil survey nilai KHL ini yang dijadikan bahan diskusi dan dialog dewan
pengupahan daerah, untuk kemudian menetapkan upah minimum seberapa persen dari
KHL. Bisa saja nilai upah minimum sama dengan 100% KHL atau bisa juga 95% KHL,
atau 120% KHL, tergantung hasil rapat di Dewan Pengupahan tersebut.
Hasil
negoisasi ini kemudian menajdi rekomendasi penetapan nilai upah minimum untuk
diserahkan ke bupati, walikota yang kemudian merekomendasikan nilai upah ini ke
gubernur. Dan gubernurlah yang menetapkan niliai upah minimum. Tetapi dengan
adanya PP 78/2015, mekanisme penetapan upah minimum yang sudah berlaku sejak
tahun 1982 itu menjadi tidak lagi bermakna.
Kerugian
Secara Nominal
Pemerintah
mengatakan, PP No. 78 Tahun 2015 memberikan kepastian. Pertanyaan kita, yang
dibutuhkan kepastian atau kesejahteraan? Tentu saja, kita menginginkan
kedua-duanya. Tetapi PP No. 78 Tahun 2015 justru semakin menjauhkan buruh dari
kesejahteraan. PP No. 78 Tahun 2015 hanya untuk memastikan upah tetap murah.
Selama
ini, di seluruh Indonesia sudah ada kenaikan upah minimumnya berdasarkan survei
KHL oleh Dewan Pengupahan. Itu artinya, tanpa PP No.78 Tahun 2015 pun upah
minimum sudah pasti naik. Ironisnya, kenaikan upah minimum sebelum ada PP
No.78/2015 justru lebih baik/lebih tinggi kenaikan upah minimumnya dibandingkan
dengan menggunakan rumus formula baru di PP No.78/2015.
Dengan
kata lain Menaker telah berbohong yang menyatakan bahwa formula kenaikan upah
minimum baru di PP No.78/2015 akan memberikan kenaikan yang lebih baik. Untuk
menyebut satu contoh, Kota Bekasi. Prosentase kenaikan upah minimum di Kota
Bekasi pada tahun 2013 adalah 47,7%; tahun 2014 sebesar 16,3%; dan tahun 2015
sebesar 22,2%. Dengan menggunakan formula baru di PP No.78/2015 kenaikannya
menjadi lebih kecil, hanya 11,5%. Ini jelas merugikan buruh.
Di
beberapa daerah seperti Bengkulu, Maluku, Papua Barat, dan Kalimantan
Tengah, memang diuntungkan dengan ada PP
No.78/2015 karena kenaikan upahnya relatif menjadi lebih tinggi dari
tahun-tahun sebelumnya. Tetapi ingat, daerah-daerah itu bukanlah daerah
industri. Buruh yang bekerja di daerah tersebut jumlahnya hanya 10% dari total
buruh secara keseluruhan. Tetapi untuk kota-kota industry, justru diturunkan.
Kesimpulan,
PP 78/2015 merugikan mayoritas buruh (90%) yang berada di kota padat industri,
ini yang ditolak Serikat Pekerja. Memang benar ada 10% buruh di kota non padat
industri diuntungkan dengan PP No.78/2015. Tetapi tidak adil jika untuk
melindungi yang 10%, tetapi yang 90% justru dirugikan.
Hal
lain, daerah-daerah seperti Sidoarjo, Surabaya, Pasuran, Gresik, Tangerang, dan
Cilegon, akibat PP 78/2015 rekomendasi upah minimum dari Bupati/Walikota justru
diturunkan. Di Surabaya, misalnya, Walikota sudah merekomendasi upah minimum
sebesar 3,2 juta. Tetapi diturunkan menjadi 3 juta-an.
Sekali
lagi, buruh dirugikan!
Kerugian
atas Hilangnya Hak Berunding dan Hak Berserikat
Perlu
diketahui, keterlibatan serikat pekerja dalam menentukan kenaikan upah merupakan
sesuatu yang sangat prinsip. Di seluruh dunia, kenaikan upah selalu melibatkan
serikat pekerja, sesuai dengan Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat
dan Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berunding.
Tetapi,
dengan menetapkan formula kenaikan upah sebatas inflansi pertumbuhan ekonomi, maka pemerintahan
Jokowi - JK telah merampas hak serikat. Padahal Pasal 89 ayat (3) UU No. 13
Tahun 2003 mengamanatkan, upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan
rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
Dengan
adanya formula kenaikan upah minimum sebesar inflansi dan pertumbuhan ekonomi,
itu artinya; “Kenaikan upah minimum tidak lagi ditetapkan oleh Gubernur dengan
memperhatikan rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota”
Bagaimana
mungkin Peraturan Pemerintah bisa menabrak Undang-undang? Tidak berlebihan jika
kemudian kita menyebut, ini adalah rezim upah murah yang terburuk, sejak zaman
Soeharto.
Akibat
PP 78/2015. peran serikat Pekerja di dewan pengupahan jadi hilang dalam
menetapkan nilai upah minimum karena
nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi sudah ditentutakan tiap tahun oleh
pemerinyah pusat. Akibatnya, peran serikat pekerja, dewan pengupahan dan KHL sudah tidak dibutuhkan lagi.
Kenaikan
berdasar Formula PP 78, tidak sesuai dengan spirit melibatkan serikat pekerja, sesuai dengan
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Konvensi ILO No. 98
tentang Hak Berunding, termasuk peran Serikat Pekerja yang diakui mewakili
buruh untuk berunding dalam penetapan upah minimum. Dengan menetapkan formula
kenaikan upah sebatas inflansi
pertumbuhan ekonomi, maka pemerintahan Jokowi - JK telah merampas hak
serikat pekerja untuk terlibat dalam menentukan kenaikan upah minimum.
Bahkan,
Konvensi ILO No.131 tentang upah minimum mengatur keharusan adanya konsultasi
antara Serikat Pekerja dengan organisasi Pengusaha dalam penetapan upah
minimum. Tetapi kewajiban untuk melakukan konsultasi itu diabaikan. Saya jadi
bertanya-tanya, apakah pemerintahan Jokowi - JK ini anti demokrasi, otoriter,
dan cenderung militeristik dengan menghilangkan hak berunding dan berserikat?
Pemerintah
mengatakan, serikat pekerja masih memiliki hak untuk berunding di perusahaan
guna menentukan struktur dan skala upah. Saya katakan, itu bohong. Faktanya,
sedikit sekali perusahaan yang bersedia merundingkan struktur dan skala upah.
Lagipula, apa sanksi bagi pengusaha yang tidak bersedia berunding tentang
struktur dan skala upah? Tidak ada! Jangankan yang tidak ada sanksinya, yang
jelas-jelas ada sanksinya, masih banyak pengusaha yang berani melanggar. Dari data yang saya miliki, 99,95% pengusaha
tidak mempunyai struktur skala upah. Karena, memang, hampir semua perusahaan
tidak bersedia membuat struktur skala upah.
"KHL
akan naik setiap 5 (lima) tahun sekali," kata pemerintah. Pertanyaan kita, untuk apa? Ini jelas
pembodohan. Apa fungsinya ada KHL jika formula kenaikan upah sudah ditetapkan
berdasakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi?
0 komentar:
Posting Komentar